Langsung ke konten utama

Postingan

Kota Pontianak II, 20/4/2011

Pontianak, Kalimantan Barat dikenal juga sebagai Kota Khatulistiwa. Ini karena dilintasi garis Equator ditandai dengan berdirinya Tugu Khatulistiwa. Tugu Khatulistiwa dirancang oleh Arsitek Silaban. Selain itu, Kalbar, begitu panggilan akrab Propinsi ini, dikenal juga memiliki Sungai Kapuas, Sungai terpanjang di Indonesia dengan panjang  1.143 km . Bayangkan, Sungai Kapuas melewati lima kabupaten. Dari Kabupaten terujung Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, negara tetangga, yakni Kapuas Hulu, mengalai sampai Ibukota Propinsi Kalbar.

Kota Pontianak, 20/4/2011

Pontianak, Kalimantan Barat terdiri dari 14 Kabupaten/Kota. Kota Pontuianak, Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya (KKR), Kabupaten Mempawah, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, Kabupaten Ketapang, dan Kabupaten Kayong Utara (KKU). Dengan KKR, KKU, Sekadau, Landak, Bengkayang, sebagai Kabupaten yang terakhir dimekarkan. KKU dan KKR terbilang Kabupaten dengan prospek yang cukup menjanjikan dalam sektor ekonominya. Kedua kabupaten ini cukup berhasil dalam meningkatkan pengembangan ekonomi kerakyatannya. Kabupaten KKR berhasil mengembangkan Pertaniannya sebagai Lumbung Padi Kalimantan Barat. Sementara KKU dikenal sebagai Kabupaten produksi Ikan dan budidaya Sarang Burung Walet. Serta di KKU terdapat Taman Nasional Gunung Palong. Sementara untuk Kabupaten Bengkayang dan Sekadau dikenal sebagai pusat perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit.

The History City Pontianak, 20/4/2011

Pontianak  is the capital of the  Indonesian  province of  West Kalimantan . It is a medium-size industrial city on the island of  Borneo . Pontianak occupies an area of 107.82 km² in the  delta of the  Kapuas River . It is located precisely on the  equator , hence it is widely known as Kota Khatulistiwa (Equator City). The city was formerly the capital of the independent  Sultanate of Pontianak  and was founded in  1772  around an old trading station on the Borneo coast. It is built on swampy ground that is subjected to regular flooding by the river, requiring buildings to be constructed on piles to keep them off the ground. It has its name due to the story that the founder had seen an appearance of Kuntilanak ghost at the place to be built for the palace, which he fought to save the people. The 2000 census put Pontianak's population at about 472,220., [ 1 ]  with an  intercensal estimate  in 2006 of 509,804. [ 1 ]  Pontianak is a multicultural city. It has a large populatio

Pontianak hari ke hari

tanggal 19 April 2011, Pontianak cuaca sama seperti hari biasanya, panas terik matahari membakar. Karena sudah terbiasa, masyarakat Kota Pontianak beraktivitas seakan tidak peduli dengan kondisi cuaca yang ada. Pikirannya dalam hati, bagaimana harus mencari nafkah untuk hari ini seberapapun itu hasilnya. Pontianak sebagai Kota Khatulistiwa ternyata di Indonesia sendiri cukup tidak akrab didengar. Kehidupan masyarakat dengan beraneka ragam suku budaya yang ada disini terus mengalir dari hulu hingga ke hilir. Pada hari ini aku melihat sedikit peristiwa yang ada. Hanya saja aku sempat melihat dua anak kecil bersepeda ria seakan menunjukkan kalau mereka berdua adalah sahabat karib. Satunya mengengkol, kawannya dengan santai dan tanpa banyak bicara duduk tenang di belakang sambil memegan erat badan kawannya. Anak inipun terlihat sanatai. Apakah persahabatn mereka akan langgeng hingga dewasa, tua, dan akhirnya pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Kuliah sepeda kecil itu menand

Gamangnya Pemerintahanku

Sebagai rakyat jelata, aku melihat pemerintah saat ini hanya ada untuk berbuat seadanya. Tanpa ada perubahan bahkan cenderung membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Membiarkan orang lain berbuat begitu keji kepada sesama rakyat yang lainnya. Indonesia ternyata kini dijadikan ajang pertikaian politik kekuasaan dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Betapa kejinya pemimpin seperti itu dan hanya ada di Indonesia. Sebagai negara berkembang, kini Indonesia kurasakan menghadapi persoalan yang cukup komplek akibat. Itu kurasan sengaja dibuat oleh pemimpinnya. Memaksakan keturunannya untuk memperoleh karir yang baik. Intervensi kekuasaan terjadi dimana-mana. Dengan gaya mendayu-dayu dan bicara terlihat sopan, sebenarnya yang ada kemunafikan. Takut dibilang tidak seagama lalu memungkiri jatidirinya. Berkata bahwa dirinya adalah seorang pemimpin yang terzalimi oleh orang-orang yang dianggapnya "musuhnya'. Padahal dirinya adalah pembual dan pembohong besar. Syuk

Kunjungan ke Desa Jungut Batu, Nusa Penida, Bali, 10/4/2011

Mengandalkan Ekowisata, Desa Jungut Batu, Kecamatan Nusa Penida, Bali, menyedikan pemandangan indah Hutan Bakau yang dapat dijelajahi menggunakan Sampan. Usaha penyelamatan lingkungan dalam menghadapi perubaha iklim ini ternyata membawa dampak cukup besar dalam perekonomian warga masyarakat. Kepala Desa, Supitre, mengatakan Hutan Bakau yang ada saat ini kini menjadi sumber penghasilan masyarakat. Disamping juga dengan adanya dukungan wisata laut yang menyimpan terumbu karang indah. "Selain turis datang ke desa Jungut Batu untuk menyelam, mereka kini dapat melihat Hutan Bakau secara langsung. Kita menyediakan sebanyak 33 perahu untuk melihat-lihat Manggrove. 33 orang ini terbagi dalam beberapa kelompok," ujar Supitre. Satu perahu mampu mengangkut sebanyak empat orang turis. Dengan biaya sekali berangkat Rp 70 ribu per trip. Dikatakannya, dalam satu hari pasti ada wisatawan melihat Ekowisata Manggrove. "Dari Rp 70 ribu itu setengahnya masuk ke kas desa. Uang terse

Perjalanan ke Pulau Seribu Pulau, 8/4, "Istirahat Selepas Perjalan Melelahkan"

Setelah mendarat dengan keadaan utuh d Bandara Ngurah Rai Bali, bertemu dengan teman-teman sesama jurnalis lingkungan. Kami melanjutkan perjalan ke Resort Mercure Hotel, Sanur, Bali. Awal, aku mengira cukup jauh setelah mendapatkan informasi dari warga yang kutanya di bandara. "Jauh, itu didaerah sana...." ujar pria yang sebelumnya akrab berbahasan Bali dengan temannya. Akupun menjadi bertanya-tanya informasi tersebut betul atau hanya sekedar informasi yang tidak akurat. Menggunakan Bus Pariwisata, aku dan rombongan kecil bersama jurnalis Kompas, Tempo, The Jakarta Post, Jurnal Nasional, dan Media Indonesia, ikut pula Antara, tiba sekitar pukul 11.00 Wib di Resort, begitu aku menyebutnya supaya lebih keren dikit....hehehe. Sesampainya di Lobby hotel, kami harus mendaftar dulu, (Emang sih kamar sudah dipesan, mungkin karena orang Indonesia atau turis lokal bermodal lokal pula, masalah reservasi harus berbelit-belit). Kata petugas, harus di urutkan dulu....teman-tem

Tiba di Bali, 8/4, malam hari, "Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Bali"

Sekitar pukul 21.35 Wib, waktu Indonesia bagian tengah, aku tiba untuk pertama kalinya di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Tiba sudah malam hari, pemandangan indah pantai Bali, saat itu tidak kulihat. Hanya temaran lampu berbagai warna tampak dari dalam pesawat. (sykur aku duduk di pinggir). Dengan PEDE, aku keluar dari pesawat dan menuju terminal kedatangan. Padalah saat itu, perasaanku tidak tahu harus kemana. Maju terus, aku pun tiba di luar pintu kedatangan. Kulihat turis asing mendominasi Bandar Udara Ngurah Rai. Dari berkebangsaan Eropa Timur, sampai Eropa Tengah, hingga turis belahan dunia selatan, lalu lalang membawa papan selancar. Terdengar berbagai dialek bahasa, aku tidak tahu percakapan apa yang sedang dibicarakan. Sementara aku di sudut  gerbang tempat zebra cross berada, menunggu sambil mencoba menghubungi orang yang mengundang!!!. Akhirnya mendapatkan petunjuk, ternyata pengundang juga baru mendarat dari Jakarta, dan saat ini sedang mengambil bagasi. ((((dalam hatik

Catatan pinggir, tgl 15/4

Menyusuri daerah Punggur Besar, menuju desa parit sarim yang terletak sekitar satu jam perjalanan dari Polsek Sungai Kakap. Aku menemukan sebuah kawasan yang cukup luas dan masih asriditumbuhi dengan berbagai pohon di pinggiran rumah dan sepanjang jalan. Aku menemukan sebuah keluarga dengan kehidupan yang sangat sederhana.Keluarga tersebut menggangtungkan hidupnya kepada hasil buruan bapaknya. Serta hasil panenan ibunya. Keluarga yang semuanya bekerja keras untuk hidup. Inilah gambaran cara pertanian masyarakat bawah di Indonesia. Tiada bantuan atau perhatian pemerintah yang berkuasa (Susilo Bambang Yudhoyono). Petani ini tetap giat dan bekerja dengan hari esok yang kuanggap "tidak jelas" arahnya kemana.

Perjalan menuju Pulau Dewata,,,,,

Tanggal 8 April 2011, merupakan hari sejarah dalam cerita hidupku. Sebagai jurnalis di harian Tribun Pontianak, aku ditunjuk untuk mengikuti Jurnalis Lingkungan di Sanur, Bali, yang diselenggarakan CIFOR (Center for International Forestry Research). Perasaan pertamaku adalah bingung dan apakah aku mampu akan mengikuti kegiatan yang diadakan oleh NGO Environmental. Aku beranikan diri untuk terus maju, karena jiwaku memang tidak akan menyerah terhadap hal-hal baru yang bisa membuat maju.