Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ketapang, Ismet Siswadi mengatakan Raperda Pertambangan yang sudah selesai agar segera disahkan oleh DPRD periode 209-2014, secepatnya, Selasa (6/10). Sehingga, konflik antara masyarakat dan pemerintah daerah dengan adanya penertiban dapat memperoleh kepastian hukum.
"Benar saat ini Pemerintah Daerah bertindak atas dasar Undang-undang Pertambangan. Mengatur tentang pertambangan galian C yakni pasir, kaolin, dan kuarsa. Untuk dua bahan tambang terakhir itu sudah diatur mengenai ijinnya dan ada perusahaan yang memiliki ijinnya. Sementara untuk pasir masih diberi kebebasan, karena pertambangan pasir tidak merusak lingkungan, mengingat tingginya sedimentasi," ujar Ismet kepada Tribun di ruang kerjanya.
Sementara terkait timah hitam, tercatat ada tiga perusahaan yang memiliki ijin pertambangan. Yakni PT Ligat Akses, PT Jopa Sentral Jaya, dan PT Sumber Kalbar Lestari. "Mereka yang memiliki ijin sebatas pada tahap explorasi, Ijin pembebasan lahan dan tumbang tindih, tanam tumbuh rakyat, dan pembebasan kawasan hutan yang harus memperoleh ijin dari Departemen Kehutanan dan belum pada tahap produksi. . Jadi tidak benar jika ada yang melakukan pengiriman karena memang belum diatur untuk itu," jelas Ismet.
Ismet berharap dengan disahkannya Raperda menjadi Perda Pertambangan, kepastian hukum dan batasan pelaksanaan pekerjaan dapat terakomodir dan jelas. Sebenarnya, terkait demo yang terjadi beberapa waktu lalu itu bukan berasal dari masyarakat setempat.
"Itu tidak benar, yang berhak melakukan Pertambangan harus masyarakat setempat dengan harus mengurus ijin di tingkat kepala desa setempat. Itu juga sudah diatur dalam Raperda Pertambangan, sehingga masyarakat asli tidak menjadi korban oleh warga pendatang, dimaksudkan efek lingkungan kedepannya siapa yang merasakan. Kalau pendatang pasti seenaknya melakukan explorasi," tuturnya.
Rencananya pada tanggal 15 Oktober, antara warga Matan Hilir Selatan (MHS) dan Tumbang Titi melakukan audensi dengan segenap unsur pemerintah dan kepolisian serta DPRD.
Satu Orang Satu Hektar
Dalam Raperda Pertambangan menjelaskan pengaturan WPR dan IPR. Untuk usaha pertambangan perseorangan mendapatkan lahan seluasa satu hektar. Jika dikelola secara bersama berupa grup atau kelompok disesuaikan dengan jumlah orangnya. Hanya untuk WPR dibatasi lahan seluas 25 hektar. Sebagai kontribusinya kepada daerah dipungut biaya reklamasi.
Teguh (40), mengatakan setuju terhadap pembentukan Raperda Pertambangan. "Kita sih sangat suka adanya peraturan mengenai Pertambangan. Ada kepastian hukumdan tidak dikejar-kejar oleh pungutan liar. Sementara hasil yang kami dapat tidak menentu bahkan hanya pas- pasan. Paling mampu dalam satu hari hanya 20 rit, satu rit dihargai sebesar Rp 18 ribu," ujar Teguh.
Tercatat ada 11 mesin yang beroperasi dengan satu mesin dua orang pekerja yang mengoperasikannya. Penambang pasir juga menjadi korban adanya uang lebih saat membeli minyak solar di SPBU. "Kita beli satu ken minyak solar isi 20 liter seharga Rp 95 ribu. Sementara harga normal hany Rp 90 ribu. Harapannya semoga cepat disahkan oleh DPRD, supaya ada kepastian hukum dan kita tenang untuk kerja," tuturnya.
Hal yang sama juga dikatakan Roman, warga Pesaguan, beberapa waktu lalu mengatakan agar ada kepastian tentang pertambangan timah hitam. "Kalau sudah begini kami yang kecil ini ditangkap dan disalahkan. Kami mau agar segera diatur masalah ijin pertambangan. Kami lebih suka ada kejelasan," ujarnya.
Sekretaris Rumpun Masyarakat Arus Bawah (RMAB) Ketapang, Eko Soemarno mengatakan agar dengan adanya Perda Pertambangan jangan ada lagi oknum yang akan bermain.
"Saya minta dalam pembahasan di DPRD bersama Pemerintah, Raperda Pertambangan harus jelas. Pro rakyat kecil, jangan hanya menguntungkan oknum pejabat tertentu atau cukong. Ketapang sangat kaya akan hasil alam, kita harus berkaca kepada Ilegal Logging. Apa mau praktek Ilegal Logging terjadi lagi pada Ilegal Mining. Saya meminta pihak kepolisian jangan tebang pilih. Tegakkan hukum dengan benar," ujar Eko.
Side Bar
Ketua Sementara DPRD Ketapang Gusti Kamboja mengatakan dewan siap membahas masalah Raperda Pertambangan. "Pada dasarnya, kita dewan siap untuk membahas Raperda yang diajukan oleh Pemerintah. Apalagi sempat terjadi demo tentang hal ini karena adanya penertiban oleh pihak Kepolisian," ujar Gusti kepada Tribun melalui sambungan telpon.
Lebih jauh menjelaskan, pembahasan akan dilakukan setalah alat kelengkapan dewan terbentuk semua. "Terkait Pertambangan kita akan melakukan audensi pada tanggal 15 Oktober mendatang sesuai kesepakatan bersama. Setelah alat kelengkapan dewan terbentuk kita akan membahas Raperda Pertambangan dengan acuan Undang-undang yang diatasnya. Tim Legislasi yang akan berperan, sehingga antara UU dan Perda yang dihasilkan tidak terjadi pertentangan. Disitulah fungsi Legislasi, menghasilakn Perda yang harmonis sesuai peraturan yang ada," jelas Gusti.
Nantinya, azas manfaat bagi masyarakat dan pemerintah dapat dirasakan dengan sebaik-baiknya. "Kita ingin Perda yang dihasilkan oleh DPRD itu tidak timbul pertentangan. Secara filosofi dan bermanfaat buat masyarakat dan pemerintah," pungkasnya. (rhd)
"Benar saat ini Pemerintah Daerah bertindak atas dasar Undang-undang Pertambangan. Mengatur tentang pertambangan galian C yakni pasir, kaolin, dan kuarsa. Untuk dua bahan tambang terakhir itu sudah diatur mengenai ijinnya dan ada perusahaan yang memiliki ijinnya. Sementara untuk pasir masih diberi kebebasan, karena pertambangan pasir tidak merusak lingkungan, mengingat tingginya sedimentasi," ujar Ismet kepada Tribun di ruang kerjanya.
Sementara terkait timah hitam, tercatat ada tiga perusahaan yang memiliki ijin pertambangan. Yakni PT Ligat Akses, PT Jopa Sentral Jaya, dan PT Sumber Kalbar Lestari. "Mereka yang memiliki ijin sebatas pada tahap explorasi, Ijin pembebasan lahan dan tumbang tindih, tanam tumbuh rakyat, dan pembebasan kawasan hutan yang harus memperoleh ijin dari Departemen Kehutanan dan belum pada tahap produksi. . Jadi tidak benar jika ada yang melakukan pengiriman karena memang belum diatur untuk itu," jelas Ismet.
Ismet berharap dengan disahkannya Raperda menjadi Perda Pertambangan, kepastian hukum dan batasan pelaksanaan pekerjaan dapat terakomodir dan jelas. Sebenarnya, terkait demo yang terjadi beberapa waktu lalu itu bukan berasal dari masyarakat setempat.
"Itu tidak benar, yang berhak melakukan Pertambangan harus masyarakat setempat dengan harus mengurus ijin di tingkat kepala desa setempat. Itu juga sudah diatur dalam Raperda Pertambangan, sehingga masyarakat asli tidak menjadi korban oleh warga pendatang, dimaksudkan efek lingkungan kedepannya siapa yang merasakan. Kalau pendatang pasti seenaknya melakukan explorasi," tuturnya.
Rencananya pada tanggal 15 Oktober, antara warga Matan Hilir Selatan (MHS) dan Tumbang Titi melakukan audensi dengan segenap unsur pemerintah dan kepolisian serta DPRD.
Satu Orang Satu Hektar
Dalam Raperda Pertambangan menjelaskan pengaturan WPR dan IPR. Untuk usaha pertambangan perseorangan mendapatkan lahan seluasa satu hektar. Jika dikelola secara bersama berupa grup atau kelompok disesuaikan dengan jumlah orangnya. Hanya untuk WPR dibatasi lahan seluas 25 hektar. Sebagai kontribusinya kepada daerah dipungut biaya reklamasi.
Teguh (40), mengatakan setuju terhadap pembentukan Raperda Pertambangan. "Kita sih sangat suka adanya peraturan mengenai Pertambangan. Ada kepastian hukumdan tidak dikejar-kejar oleh pungutan liar. Sementara hasil yang kami dapat tidak menentu bahkan hanya pas- pasan. Paling mampu dalam satu hari hanya 20 rit, satu rit dihargai sebesar Rp 18 ribu," ujar Teguh.
Tercatat ada 11 mesin yang beroperasi dengan satu mesin dua orang pekerja yang mengoperasikannya. Penambang pasir juga menjadi korban adanya uang lebih saat membeli minyak solar di SPBU. "Kita beli satu ken minyak solar isi 20 liter seharga Rp 95 ribu. Sementara harga normal hany Rp 90 ribu. Harapannya semoga cepat disahkan oleh DPRD, supaya ada kepastian hukum dan kita tenang untuk kerja," tuturnya.
Hal yang sama juga dikatakan Roman, warga Pesaguan, beberapa waktu lalu mengatakan agar ada kepastian tentang pertambangan timah hitam. "Kalau sudah begini kami yang kecil ini ditangkap dan disalahkan. Kami mau agar segera diatur masalah ijin pertambangan. Kami lebih suka ada kejelasan," ujarnya.
Sekretaris Rumpun Masyarakat Arus Bawah (RMAB) Ketapang, Eko Soemarno mengatakan agar dengan adanya Perda Pertambangan jangan ada lagi oknum yang akan bermain.
"Saya minta dalam pembahasan di DPRD bersama Pemerintah, Raperda Pertambangan harus jelas. Pro rakyat kecil, jangan hanya menguntungkan oknum pejabat tertentu atau cukong. Ketapang sangat kaya akan hasil alam, kita harus berkaca kepada Ilegal Logging. Apa mau praktek Ilegal Logging terjadi lagi pada Ilegal Mining. Saya meminta pihak kepolisian jangan tebang pilih. Tegakkan hukum dengan benar," ujar Eko.
Side Bar
Ketua Sementara DPRD Ketapang Gusti Kamboja mengatakan dewan siap membahas masalah Raperda Pertambangan. "Pada dasarnya, kita dewan siap untuk membahas Raperda yang diajukan oleh Pemerintah. Apalagi sempat terjadi demo tentang hal ini karena adanya penertiban oleh pihak Kepolisian," ujar Gusti kepada Tribun melalui sambungan telpon.
Lebih jauh menjelaskan, pembahasan akan dilakukan setalah alat kelengkapan dewan terbentuk semua. "Terkait Pertambangan kita akan melakukan audensi pada tanggal 15 Oktober mendatang sesuai kesepakatan bersama. Setelah alat kelengkapan dewan terbentuk kita akan membahas Raperda Pertambangan dengan acuan Undang-undang yang diatasnya. Tim Legislasi yang akan berperan, sehingga antara UU dan Perda yang dihasilkan tidak terjadi pertentangan. Disitulah fungsi Legislasi, menghasilakn Perda yang harmonis sesuai peraturan yang ada," jelas Gusti.
Nantinya, azas manfaat bagi masyarakat dan pemerintah dapat dirasakan dengan sebaik-baiknya. "Kita ingin Perda yang dihasilkan oleh DPRD itu tidak timbul pertentangan. Secara filosofi dan bermanfaat buat masyarakat dan pemerintah," pungkasnya. (rhd)
Komentar