Dewan Pengurus Gemawan Kalbar, Hermawansyah, mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah untuk menyiapkan formulasi dalam penyelesaian konflik dalam bidang agraria. Dikatakannya, Kalimantan Barat merupakan daerah dengan ancaman potensi konflik agraria.
"Saat ini belum ada formulasi penyelesaian konflik oleh Pemprov dan Pemda di Kalbar. Padahal ancaman seperti konflik di Mesuji sangat nyata. Buktinya, pembakaran camp di Dusun Sasak, lalu konflik perusahaan di Sintang dan Kubu Raya, ini semua bermulai dari masuknya investasi perkebunan Kelapa Sawit," kata Hermawansyah, Jumat (15/2) saat diskusi singkat.
Buru-buru ditegaskan, Gemawan tidak menolak masuknya investasi perkebunan Kelapa Sawit. Akan tetapi investasi perkebunan Kelapa Sawit jangan mengancam kondisi sosial masyarakat melalui adat istiadat setempat.
"Kedepannya, seharusnya masyarakat diberikan keputusan apakah menerima atau menolak sawit. Kalau menolak maka lakukan inclube. Masyarakat harus berada dalam posisi setara dalam masuknya perkebunan Kelapa Sawit," tuturnya.
Diskusi singkat ini diselenggarakan bersama Delsy Romnie, Konsultan Mediasi dan Konflik Lahan dan Swandiri Institute. Hadir sebagai peserta diskusi masyarakat KKR yang menghadapi permasalahan dengan Kelapa Sawit, serta para jurnalis.
"Saat saya bertemua dengan Kapolda Kalbar, beberapa waktu lalu, disampaikan bahwa Polisi tidak mau ketika ada konflik menjadi bemper perusahaan. Perusahaan biasanya melakukan adu domba, sehingga terjadi fenomena sosial yang tidak sehat, seperti di KKR, ada kubu yang demo menolak, lalu ada yang mendukung, meskipun tidak semua perusahaan," ungkapnya.
Kandidat dokter universitas Helsinky, Finlandia, Delsy Romnie, mengungkapkan pemicu konflik disebabkan klaim atas tanah adat yang dilakukan perusahaan. Akselatornya, lanjut Delsy, perusahaan membagikan hasil kepada masyarakat yang tidak sesuai.
"Peran DPRD sebagaui fungsi pengawasan kontrol terhadap kinerja Pemkab belum maksimal. DPRD seharusnya bisa membuat aturan tentang mekanisme ganti rugi lahan, penguatan status tanah dan hak adat, serta CSR," tuturnya.
Melihat kondisi saat ini, Pengadilan Agraria yang sekitar tahun 50 an hilang bisa kembali dimunculkan. Karena mekanisme pengadilan yang ada saat ini tidak bisa mengakomodir seluruh permasalahan dari konflik agraria.
"Ekpansi sawit terus meningkat, harusnya perusahaan bisa ramah sosial, ramah secara adat. Dan saya bisa mengatakan bahwa sebenarnya sawit itu tidak berdampak langsung, lain jika halnya dengan Karet, atau pembangunan Gudang Es atau TPI (Tempat Pelelangan Ikan)," tukasnya.
Komentar