Center For International Forestry Research atau Pusat Penelitan Kehutanan Internasional mengadakan pelatihan Jurnalis Lingkungan kepada beberapa wartawan nasional dan daerah di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan di Sanur, Bali, dari tanggal 8-11 April serta mengunjungi Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida.
Pada pelatihan Jurnalis Lingkungan CIFOR bersama SIEJ (SOciety Of Indonesian Environmental Journalists) memberikan pemahaman Reducion Emission From Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Hasil dari penelitian dari tahun 1990-2005, sebanyak 13 Juta Hektar lahan per tahun terjadi Deforestasi akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian. Kini konversi tersebut berlangsung dan dalam tahap mengkhawatirkan.
Deforestasi mengakibatkan lepasnya Karbon yang awalnya tersimpan di dalam pohon sebagai emisi Karbondioksida. Hal ini berlangsung dengan cepat apabila pohon di bakar dengan cepat dan berjalan lambat apabila kayu dan dedaunan mengalami pelapukan secara alami. Hal ini dikeluarkan FAO, World Bank, dan IPCC.
Kebakaran Gambut merupakan sumber utama emisi di Indonesia, khususnya selama tahun-tahun El Nino. Kebakaran hutan sebagian besar bersumber dari kegiatan manusia antropogenik dan dapat dikurangi dengan menindaklanjuti dan dapat dikurangi dengan menindaklanjuti konflik lahan lokal dan meningkatkan kemampuan di daerah untuka pengelolaan kebakaran yang lebih baik.
Menghentikan kebakaran ini akan menurunkan emisi nasional sebesar 23-45 persen. "Pembicaraan tentang peran penting hutan lahan basah tropis di perubahan iklim dapat diperlebar untuk mengikutsertakan bakau," kata Daniel Murdiayarso, peneliti senior CIFOR.
Ditambahkannya, kepadatan karbon di hutan bakau lebih dari empat kali lebih tinggi daripada di hutan tropis di dataran tinggi. Pengrusakan dan degradasi ekosistem bakau di perkirakan menghasilkan sampai 10 persen dari emisi deforestasi global, walaupun luasnya hanya 0,7 persen dari total daerah hutan tropis.
Karbon banyak tersimpan di bawah hutan bakau daripada di atas permukaan tanah dan air. Data satelit terakhir menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai 3,1 juta hektar Bakau atau sekitar 22,6 persen dari Bakau Dunia.
"Mengutip pernyataan SBY, Indonesia setuju untuk tidak memberikan lagi konsesi di daerah gambut, yang jutga kaya karbon, sebagai upaya memotong emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dari tingkat busines dengan usaha sendiri pada tahun 2020. Dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional," ujar Daniel Murdiyanto mengutip pernyataan SBY saat pertemuan di Copenghagem, beberapa waktu lalu.
Dikatakannya, Kalbar adalah daerah yang termasuk dalam REDD+. Sebab Kalimantan Barat memeliki Kawasan Hutan Gambut dan Lahan Basah yang tersebar juag di Pulau Kalimantan. Termasuk didalamnya Kalimantan Tengah.
Namun diakui Daniel, hingga saat ini REDD+ masih susah diterapkan di Pemerintah. Sebagai Ilmuwan, kata Daniel, pihaknya tidak mampu berbuat banyak dalam hal "menekan" pemerintah daerah untuk menerapkan REDD+.
"Pemerintah dalam REDD+ ini sangat penting sekali. Nomor satunya adalah pemerintah. Namun sejak sejak dulu Presiden hanya mengeluarkan Inpres tentang lahan basah. Kita kenal dengan program 1 juta lahan basah di Kalteng. Tapi pelaksanaan hingga kini belum ada," tegas Daniel Murdiyanto.
Kegiatan ini melibatkan Eni Media Indonesia divisi lingkungan humaniora, Maturibi Kalteng post, yang melihat perjalanan REDD di Kapuas, Kalteng yang dijadikan project REDD dan kawasan gambut dan kawasan percontohan di 20 ribu ha hanya menjadi lahan terlantar.
Triadianti dari Jurnal Nasional berharapan agar hutan kota bisa lebih hijau. Dominggur dari Tabloid JUBI, Kota Jayapura, kebijakan hutan di Papau masih belum Pro REDD+. Hal senada dirasakan Ishak wartawan Kendari Express, yang melihat pencurian kayu di kota Kendari. Ia berharap menambah pemahaman tentang REDD dan Wetlands.
Diah Puspasari dari Badan Litbang Kehutanan Jakarta berharap meningkatan pemahaman dan pengetahuan di media massa. Hal senada disampaikan Musa Online JUBI, mengatakan Hutan bakau di Jayapura berharap bisa meningkat kesejahteraan dan pemahaman dan tentang hutan dan lainnya.
Iwan Susanto dari Kompas bagian Humaniora mengatakan perubahan iklim berdampak pada serangan ulat bulu di probolinggo. Katanya kemungkinan perubahan iklim dengan menghangatnya suhu tubuh di daerah tersebut, sehingga telur cepat menetas. Menambah informasi dan terkait redd dan lahan basah.
Komentar